Kamis, 14 Maret 2013

Kecintaan terhadap Tanah Air Indonesia, Perkembangan Ekspor Batik Indonesia


Tema: Kecintaan terhadap Tanah Air Indonesia


Judul: Perkembangan Ekspor Batik Indonesia

Cinta tanah air ialah perasaan cinta terhadap bangsa dan negaranya sendiri.Usaha membela bangsa dari serangan penjajahan.Dalam cinta tanah air terdapat nilai-nilai kepahlawanan ialah:Rela dengan sepenuh hati berkorban untuk bangsa dan Negara.

Pada hakekatnya cinta tanah air dan bangsa adalah kebanggaan menjadi salah satu bagian dari tanah air dan bangsanya yang berujung ingin berbuat sesuatu yang mengharumkan nama tanah air dan bangsa.

Sebagian orang indonesia, kita harus bangga karena dilahirkan dan menjadi orang indonesia. Banyak cara untuk mencintai indonesia. wujud cinta indonesia bisa dilakukan dengan hal- hal yang kecil, seperti misalnya; merasa bertanggung jawab atas lingkungan kita.
Rasa cinta kita sebaiknya ditujukan dengan hal- hal yang bersifat aplikatif, yaitu dengan bekerja dan turun langsung untuk menjaga dan melindungi tanah air indonesia. Misalnya; seperti menanam pohon, membuang sampah pada tempatnya, dan lain sebagainya.

Ada beberapa hal yang mendasar yang mencerminkan bahwa kita mencintai indonesia, yaitu;

• Bangga sebagai orang indonesia 
Rasa bangga terhadap tanah air akan menumbuhkan rasa cinta dan memiliki yang sangat besar terhadap indonesia. Jika sudah cinta dan bangga, kita akan selalu berusaha untuk melakukan yang terbaik bagi bangsa kita. Kita akan selalu menjaga nama baik indonesia dan memperjuangkan kelangsungan kemerdekaan indonesia.
• Memakai produk dalam negeri 
Memakai produk dalam negeri berarti mencintai hasil karya orang- orang indonesia. Dalam memakai produk dalam negeri, berarti kita berusaha mencintai segala sesuatu yang berasal dari indonesia. Pakailah produk- produk dalam negeri berati kita membantu melancarkan pembangunan di negeri ini.
• Mentaati peraturan
mentaati peraturan adalah contoh aplikatif yang paling besar dalam mencintai indonesia. Dengan mentaati peraturan, berarti kita peduli akan kelangsungan kehidupan yang damai di negeri indonesia ini. Jangan pernah melanggar peraturan yang telah ditetapkan negara, karena pada akhirnya akan sangat merugikan orang banyak.
• Membayar pajak
Sebagai orang yang bijak, kita harus membayar pajak. Dengan membayar pajak, kita akan melancarkan pembangunan di indonesia. Berkat uang yang diperoleh dari hasil pajak kita, negara akan lancar melakukan pembangunan dan tidak akan terkendala biaya. Jika kita tidak membayar pajak, berarti kita akan menghambat kemajuan indonesia dan menghambat pembangunan di indonesia.

Itulah hal- hal yang sederhana untuk menunjukan rasa cinta kita terhadap tanah air indonesia. Hal-hal tersebut sekilas akan mudah untuk kita jalani. Namun, melakukan hal tersebut perlu dilakukan suatu pengorbanan dan niat yang besar untuk melaksanakannya. Mencintai indonesia itu seharusnya perlu memiliki rasa berkorban dan bertanggung jawab, sebagaimana para pahlawan yang telah rela kehilangan nyawanya untuk bangsa indonesia.


  
PERKEMBANGAN EKSPOR BATIK INDONESIA

Dalam perkembangannya batik yang merupakan bagian dari komoditi ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) dapat menjadi ujung tombak ekspor TPT nasional pasca penghapusan kuota ekspor TPT, mengingat batik memilki corak yang khas sebagai cerminan dari kekayaan budaya nasional Indonesia dan telah lama dikenal oleh kalangan pembeli internasional.

Pada pasca pembebasan kuota ini, industri tekstil nasional mengalami penurunan akibat persaingan semakin ketat menyusul masuknya sejumlah negara produsen di pasar dunia seperti China dan Vietnam. Kondisi pasar itulah yang mengisyaratkan adanya peluang besar bagi produk batik Indonesia. Dengan ratusan motif dan jenis, termasuk di sentra produksi Jawa Tengah, batik mempunyai peluang besar untuk lebih mengembangkan penetrasi pasar baik untuk kebutuhan ekspor maupun dalam negeri.

Sejauh ini, produk batik memang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa, hany a kerajinan tenun yang mulai meluas ke luar Pulau Jawa. Namun demikian, produk batik tetap mempunyai potensi yang sangat besar untuk dikembangkan di seluruh Indonesia. Perkembangan ekspor batik mempunyai dampak yang cukup luas di dalam negeri, bukan hanya dapat menghasilkan devisa negara tetapi juga dapat menciptakan lapangan kerja baru.

Berbicara batik sebagai komoditas ekonomi, tidak bisa lepas dari nukum-hukum ekonomi, seperti komoditas perdagangan lainnya, yaitu menyangkut harga, biaya, efisiensi, dan sebagainya. Artinya pemerintah tidak bisa memaksa masyarakat berpakaian batik dengan alas an budaya.

Produk batik harus memiliki daya saing terhadap produk tekstil lainnya. Hingga kini, motif batik Indonesia yang khas sulit untuk dapat dibajak, bahkan peminatnya sampai saat ini juga terus berkembang baik itu konsumen dalam negeri maupun luar negeri. Namun batik yang banyak diminta pasar itu adalah batik dengan nilai komersial, corak bagus, harga bersaing, dan produknya memuaskan. Selama ini batik Indonesia banyak dikirirn ke negara-negara seperti Eropa, Amerika Serikat, FiUpina, Thai­land, Afrika, dan negara-negara lainnya.
Batik Indonesia memang sudah memiliki nama di dunia internasional. Namun, prospek ekonomi batik ke depan tetap sangat tergantung dari kepiawaian peran pengusaha dan pedagang batik dalam mengolah produksi dan memasarkannya. Seni memang menunjang sebuah komoditas agar menjadi barang yang memiliki nilai tambah lebih terhadap produk batik itu sendiri. Namun demikian, pemberian nilai tambah berupa nilai seni itu jangan sampai membuat beban biaya yang tinggi, karena jika hal itu menjadi biaya tinggi maka harga barang itu tidak mampu bersaing lagi. Dengan demikian berarti nilai ekonominya menjadi tidak ef ektif. Karena itu, merupakan kewajiban bagi para pengusaha batik untuk lebih mendalami masalah batik agar dapat terus berkembang menjadi komoditas andalan, terutama dalam era perdagangan bebas AFTA dan APEC.

Mampukah batik bersaing di pasar Internasional ditengah kondisi daya saing Indonesia yang semakiu turun di pasar global? Untuk itu kita harus tahu daya saing ekspor batik Indonesia di pasar internasional. Ukuran kinerja daya saing yang akan digunakan adalah Re­vealed Comparative Advantage (RCA) dan Trade Specialization (TSR).

Perkembangan ekspor batik Indone­sia selama periode 1999 - 2005 ekspor batik Indonesia mengalami perkem­bangan yang tidak stabil. Pada tahun 1999 ekspor batik Indonesia mengalami angka terkecil dibanding tahun-tahun berikutnya. Selain karena kondisi perekonomian yang belum pulih karena krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997, pada tahun 1999 banyak pengusaha dan perajin batik yang terpaksa menutup usahanya karena mahalnya bah an baku.

Sekalipun terjadi peningkatan ekspor batik pada tahun 2000, hantaman krisis moneter masih banyak mempengaruhi para pengusaha dan perajin batik di Indonesia. Nasib kerajinan batik semakin terpuruk lantaran bahan baku yang mahal, sehingga harga batik Indonesia turut meningkat dan turunnya omset penjualan. Sementara para perajin yang masih tersisa pada saat itupun hanya membuka usaha sekedar untuk bertahan hidup. Perajin batik tidak mampu mendongkrak omset penjualan termasuk harapan menaikkan harga jual, apalagi pasaran batik juga sangat terbatas pada saat itu. Belum lagi kurangnya kepedulian perajin batik untuk mematenkan karya-karyanya.

Pada tahun 2001, ekspor batik Indo­nesia mengalami sedikit penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Namun pada tahun ini banyak dari perajin dan pengusaha batik di Indone­sia mulai bangkit kembali setelah 2 tahun dilanda kelesuan. Kebangkitan usaha batik itu tidak lain didukung oleh stabilnya harga-harga bahan baku, seperti kain mori dan benang, sehingga memungkinkan perajin batik untuk memperhitungkan kembali selisih biaya produksi dengan keuntungan dari penjualan. Meskipun usaha kerajinan telah bangkit setahun lalu namun situasi politik yang tidak menentu menyebabkan pengusaha asing kini mengalihkan pembelian batik ke negara lain yang lebih stabil, seperti India dan Malaysia. Negara pesaing itu menawarkan harga lebih murah dengan kualitas yang sama. Kondisi ekonomi tersebut tidak memungkinkan Indonesia bersaing, mengingat harga-harga bahan baku tekstil naik termasuk upah pekerja. Di sisi lain, imbauan sejumlah kedutaan asing di Indonesia agar pengusaha mereka tidak berkunjung ke Indonesia menjelang pelaksanaan Sidang Pertama Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun 2001 sangat merugikan para pengusaha batik Indonesia. Sejumlah pengusaha asing akhirnya membatalkan rencana kedatangan mereka. Pangsa pasar bisnis batik Indonesia juga semakin mendapat persaingan di pasaran internasional. Sejumlah negara, seperti Malaysia, Jepang, dan Inggris malah dengan sengaja mengadopsi kerajinan batik, bahkan memakai proses membatik Indo­nesia, sehingga batik dari negara-negara tersebut hampir sama dengan batik In­donesia. Selain itu, banyak pelaku usaha kerajinan batik yang belum mengetahui pentingnya pendaftaran paten atau Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) produk kain batik karena proses pendaftarannya belum disosialisasikan. Pelaku usaha kerajinan batik cenderung merasa puas dengan produk-produk yang sudah terjual. Perajin batik kebanyakan tidak terlalu peduh dengan pentingnya HAKI karena mahalnya biaya pendaftaran. Ketidakpedulian perajin batik akan pentingnya HAKI sedikit banyak turut mempengaruhi turunnya ekspor batik pada tahun2001 karena beberapa produk ekspor batik Indonesia sudah lebih dulu dipatenkan atas nama beberapa negara asing.

Pada tahun 2002 ekspor batik Indo­nesia sedikit mengalami kemajuan dibanding tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan mulainya tumbuh kesadaran di hati para pengusaha dan perajin batik untuk melestarikan batik sambil terus mengikuti perkembangan terbaru. Peluang bagi batik akan selalu ada dan luas, asalkan perajin batik mau mengikuti kemauan pasar. Perajin batik harus menguatkan pasar dalam negeri terlebih dahulu agar lebih memudahkan perajin batik untuk mengenalkan merek-merek dalam negeri di pasar asing. Sayangnya, pengaruh serangan teror terhadap World Trade Center (WTC) di Amerika Serikat membuat pembeli warga asing menu run. Selain itu, banjir besar yang melanda hampir 80 persen kota Pekalongan sebagai salah satu pusat kerajinan batik di Indonesia pada tahun 2002 juga mengurangi daya jual. Jumlah pesanan batik menurun sampai 50 persen jika dibandingkan kondisi normal Faktor lainnya yang menyebabkan ekspor batik tidak begitu mengalami kemajuan pada tahun ini adalah akibat pengaruh menguatnya nilai rupiah terhadap dol­lar Amerika Serikat (AS). Sejumlah pengusaha yang biasanya melayani pasar ekspor mulai mengurangi produksi batik, menunggu saat yang tepat untuk memulai lagi produksi batik. Pada tahun ini, hanya sekitar 40 persen produksi ba­tik dijual di pasaran ekspor, sisanya drjual di pasaran domestik. Ketika nilai dollar AS Rp 12.000,- , misalnya, hampir 70 persen produksi batik Indonesia diekspor. Pada tahun 2003 ekspor batik Indonesia mengalami kemajuan yang cukup berarti dibanding tahun-tahun sebelumnya. Sekalipun pada tahun ini terjadi kenaikan harga tarif dasar listrik, telepon dan bahan bakar rriinyak (BBM), namun ekspor batik Indonesia tidak mengalami hambatan yang cukup berarti di pasar luar negeri. Hal ini dikarenakan Pasar Grosir yang pada tahun 2002 didirikan di Pekalongan berkembang pesat. Pasar grosir ini, sesuai dengan namanya, bertujuan untuk memudahkan para perajin batik Indonesia, khususnya di daerah Pekalongan dan sekitarnya, di dalam memasarkan batik tradisional. Banyak perajin batik yang tidak memahami jaringan pemasaran di kotanya sendiri maupun di luar kota. Dengan tersedianya pasar grosir, pemasaran batik akan semakin terbuka. Pasar grosir ini tidak saja mempermudah pemasaran batik bagi perajin setempat, namun pasar grosir ini telah menjadi ajang pertemuan peminat barang dengan produsen. Peminat batik itu, bisa saja pedagang besar asal luar kota, perancang mode, pemilik toko pakaian grosir eksportir yang ingin mendapatkan barang langsung dari produsen, atau kalangan usahawan dan badan usaha yang hendak memesan batik dalam jumlah besar. Selain itu promosi batik, seperti pameran-pameran batik dan festival-festival batik yang kerap diadakan secara rutin, baik di dalam maupun di luar negeri turut mengembangkan penjualan batik.

Batik Indonesia Perlu Dipatenkan
Kekayaan intelektual bangsa Indonesia berupa motif-motif bank tradisionalyang ribuan macamnya, belakangan banyak ditiru oleh para pengrajin dari negara-negara lain demi kepentingan ekonomi. Selama ini motif batik khas Indonesia diambil lalu dimodifikasi oleh para pengrajin batik dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia, Vietnam, India, dan Afrika. Hanya saja, bila dilihat secara seksama dari segi pengerjaannya, batik-batik itu belum tentu memiliki kesamaan. Dari segi pengerjaan, tidak mudah diperoleh kesamaan karena batik-batik tersebut tidak dikerjakan secara massal atau pabrikan. Dalam proses pembuatan-nya dibutuhkan keahlian tersendiri, sehingga untuk satu motif saja belum tentu akan jadi sama.
Sehubungan dengan banyak-nya penjiplakan motif batik oleh para perajin dari negara-negara tetangga, mematenkan motif-motif batik merupakan hal yang segera harus dilakukan. Pemerintah perlu mengeluarkan batik mark (batik yang berciri khas Indonesia) bagi batik Indo­nesia. Upaya tersebut dinilai penting untuk melindungi industri batik dalam negeri. Joop Ave, pemerhati batik, mengatakan pematenan batik dengan nama batik Indonesia juga merupakan bentuk proteksi tehadap kekayaan intelektual.

Usaha untuk mematenkan motif-motif batik juga merupakan keseriusan pemerintah daerah dalam rangka memberi proteksi bagi karya cipta masyarakat, khususnya bagi perajin ba­tik lokal. Pematenan ini penting untuk segera dilaksanakan karena banyak ditemukan perajin-perajin batik yang mengaku kesulitan saat hendak mengekspor produknya ke Malaysia. Para perajin batik lokal tersebut tidak dapat memasarkan batiknya dengan label batik karena Malaysia sudah mematenkan batik, sehingga para perajin hanya dapat mengirimkan batik tersebut dengan label sehelai kain yang bercorak, bukan dengan nama batik. Diharapkan juga pemerintah Indonesia dengan Ma­laysia mengadakan pembicaraan bilat­eral agar perdagangan kedua negara dapat berjalan Iancar.

Meningkatkan Citia Batik Indonesia ke Pasar Global
Citra batik Indonesia yang sudah sangat terkenal di dunia dikhawatirkan bisa tenggelam jika kebijakan ke depan terhadap batik tidak tepat. Saat ini negara-negara yang menghasilkan batik semakin banyak. Malaysia, Thailand, Amerika Serikat, Afrika, bahkan Eropa juga memiliki batik. Negara-negara itu tidak hanya memilki batik dengan ciri khas tertentu, tetapi juga menguasai teknik pemasaran global.

Menurut Direktur Jendral Industri Kecil dan Menengah (DCM) Departemen Perindustrian (Depperin) Sakri Widhianto, selama ini batik Indonesia sangat kuat di pasar dalam negeri. Pemerintah juga pernah mencanangkan pegawai negeri sipil memakai batik sehari dalam seminggu. Namun, untuk pasar dunia nilai ekspor batik hanya mencapai 350 juta dollar Amerika Serikat atau 4,5 persen dari nilai ekspor tekstil Indonesia secara keseluruhan. Angka ini sebenarnya dapat ditingkatkan lebih tinggi lagi jika kebijakan terhadap bank, terutama bagaimana menghadapi para pesaing, tepat.

Untuk mendapatkan masukan-masukan bagaimana meningkatkan penetrasi bank Indonesia ke pasar global, Direktur Jendral Industri Kecil dan Menengah (EKM) mengadakan Dialog Nasional Batik yang dihadiri sekitar 20 pengusaha dan pemerhati batik Indone­sia. Dalam dialog terbatas tersebut, didapat beberapa gagasan yang clinilai dapat dilaksanakan. Gagasan-gagasan itu antara lain melakukan riset yang mencakup sejarah budaya batik, membentuk lembaga promosi batik untuk pasar global yang didukung tenaga profesional, pameran berkala dan terus-menerus, mematenkan desain motif batik Indonesia, dan membuat merek Batik In­donesia untuk batik yang akan dipasarkan secara global.

Menurut Yoga Pramana dari Industri Kecil Menengah (IKM) Departemen Perindustrian (DEPPERTN), tahun 2005 Depperin telah mematenkan sekitar 600 desain. Sementara pada tahun 2003-2004 telah dipatenkan 2.763 motif desain.

Untuk mematenkan desain motif dan membuat merek Batik Indonesia ini agaknya harus dipikirkan lebih jauh pelaksanaannya. Walaupun sebuah mo­tif telah dipatenkan, penegakan hukumnya masih sangat sulit dilakukan. Hukum tidak dapat menjangkau tiruan desain yang hanya mengubah sedikit ukuran atau gambar dari desain aslinya.

Kebijakan Pemerintah terhadap Batik Indonesia
Hak Cipta lahir sejak Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) diwujudkan dalam bentuk nyata. Kepala Badan Informasi Daerah dalam sambutannya mengatakan Sosialisasi HAKI sangat penting untuk memberikan perlindungan kepada pengusaha produk bermer-ek yang selama ini sering dipalsukan, bahkan dipatenkan pihak lain karena tidak tahu aturan main. Lebih lanjut disampaikan bahwa batik yang merupakan warisan budaya, dewasa ini telah dipatenkan oleh Malaysia, sehingga Indonesia tidak dapat menjualnya ke negara bersangkutan. Sosialisasi ini untuk member day akan masyarakat agar tidak diperdaya.
Perlindungan Hak Cipta di Indone­sia sebenarnya telah dikenal sejak jaman penjajahan Belanda dengan sebutan "Auteurswet 1912". Peraturan ini terus diberlakukan menurut Undang-Undang Dasar tahun 1945 sambil menunggu Peraturan Perundangan Indonesia diberlakukan. Di era Auteurswet (1912) peraturan perundangan ini menjadi aturan hukum yang mati, baik jaman penjajahan maupun kemerdekaan, karena aturan main ini tidak dapat diterapkan. Perlindungan Hak Cipta kurang dikenal karena merupakan produk negara barat yang sangat mengagungkan kepentingan individu atau dianggap melebih-Iebihkan hak milik yang bersifat perorangan.
Di Indonesia, perlindungan hak cipta ini mulai disuarakan pada dekade 1960-an yang dilanjutkan dengan kajian-kajian pada dekade 1970-an. Indonesia menerbitkan peraturan yang mengatur hak cipta ini pada tahun 1982 yaitu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Kemunculan Undang-Undang Hak Cipta inipun dari hari ke hari kian dianggap penting, sehingga secara terus-menerus disempurnakan. Terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta ini membuka wawasan dan kesadaran bangsa untuk memberikan perlindungan-perlmdungan yang berkait dengan hak cipta, sehingga tahun 1987 terbit Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997, dan terakhirUndang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.

Undang-undang ini hak cipta ini tidak berdiri sendiri, namun mendapat dukungan aturan pelaksanaannya, antara lain:
1.      Jo Pemerintah R.I Nomor 7 Tahun 1989 tentang Hak Cipta
2.      Peraturan Pemerintah RI Nomor 1 Tahun 1989 tentang Penerjemahan dan atau Perbanyak Ciptaan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan.
3.      Keputusan Presiden RI Nomor 17 Tahun 1998 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlin­dungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman suara antara negara Republik Indonesia dengan masyarakat Eropa.
4.      Keputusan Presiden RI Nomor 25 Tahun 1989 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlin­dungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman suara antara negara Republik Indonesia dengan Amerika Serikat.
5.      Keputusan Presiden RI Nomor 38 Tahun 1993 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlindungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman suara antara negara Republik Indonesia dengan Australia.
6.      Keputusan Presiden RI Nomor 56 Tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlin­dungan hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas karya rekaman suara antara negara Republik Indonesia dengan Inggris.
7.      Peraturan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.HC.03.01 Tahun 1987 tentang Pendaftaran Ciptaan.
8.      Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.04-PW.07.03 Tahun 1988 tentang Penyidik Hak Cipta.
9.      Surat Edaran Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor M.01.PW.07.03 Tahun 1990 tentang Kewenangan Menyidik Tindak Pidana Hak Cipta.
Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memper-banyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dnahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak khusus (Exclusive Rights) mengandung hak ekonomi (Economic Rights) yaitu hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk hak terkait dan Hak Moral (Moral Rights) yaitu hak pencipta atau ahli warisnya untuk mengugat seseorang atau ahli warisnya untuk menggugat seseorang yang tanpa persetujuannya meniadakan nama pencipta yang ler can turn dalam ciptaan, mencantumkan nama pencipta dalam ciptaannya dan mengubah isi ciptaan. Hal ini menunjukkan hubungan antara pencipta dengan karya ciptaannya.
Pemerintah Indonesia melalui pasal 12, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, mengakui dan melin-dungi antara lain:
1.      Buku, Program Komputer, Perwa-jahan Karya Tulis yang diterbitkan dan semua hasil karya tulis.
2.      Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain sejenis.
3.  Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan.
4.      Lagu atau musik dengan atau tanpa teks.
5.      Drama atau drama musika, tari, koreografi, pewayangan dan pantomim.
6.     Seni Rupa dalam segala bentuk, seperti seni lukis, gambar seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolose dan seni terapan.
7.      Arsitektur
8.      Peta
9.      Seni Batik
10.  Fotografi
11.  Sinematografi
12.  Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.

Pengakuan ini dibarengi dengan pembatasan hak cipta sebagaimana diatur dalam pasal 15 Undang-Undang Hak Cipta dengan syarat mencantumkan sumbernya, baik untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik dan tinjauan suatu masalah dengan ketentuan tidak merugikan kepenting-an yang wajar dari pencipta. Hal ini juga berlaku untuk kepentingan pembelaan, ceramah pendidikan, pertunjukan gratis, perbanyakan non komersial dan lain sebagainya.


Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan Re­vealed Comparative Advantage (RCA) dan Trade Specialization (TSR), maka hasil analisis serta pembahasan yang telah dilakukan diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.   Selama periode 1999 - 2003, menurut hasil analisis RCA, perkembangan nilai ekspor batik Indonesia di bawah angka 1, yang berarti daya saing batik Indonesia di pasar dunia masih lemah. Untuk meningkatkan daya saing batik Indonesia di pasar dunia, diperlukan peran aktif dari semua pihak, baik itu dari Pemerintah, para perajin batik sendiri, maupun dari masyarakat Indone-sia pada umumnya.

Selama periode 1999 - 2003, menurut hasil analisis TSR, perkembangan Ekspor Batik Indonesia menunjuk­kan angka 1 hingga 2 pada tahun 2003, hal ini menggambarkan kondisi tahap ekspor batik Indonesia yang sudah dewasa atau matang, dalam arti kata batik Indonesia mempunyai potensi ekspor yang berdaya saing di pasar internasi­onal. Kenyataan ini cukup meng-gembirakan, walaupun Indonesia tetap tidak boleh langsung puas dengan kondisi tersebut, karena pada kondisi ini produk domestik dan ekspor perlahan-lahan menurun yang disebabkan karena penam-bahan input lebih besar dibanding penambahan output yang terjadi sehingga tidak terjadi skala ekonomis atau skala ekonomi menurun (diseconomies of scale). Selain itu pada tahap ini ditandai juga dengan sudah mulai datangnya pengusaha asing yang belakangan mulai bersaing dengan pengusaha domestik di bidang ekspor. Industri batik nasional masih memerlukan kebijakan pemerintah di dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitasnya agar tetap mampu bersaing dengan negara-negara lain yang juga merupakan penghasil batik, seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, Cina, Amerika Serikat, Afrika, dan Eropa.

Selama ini batik Indonesia banyak dikirim. ke negara-negara seperti Eropa, Amerika Serikat, Filipina, Thailand, Afrika, dan negara-negara lainnya. Kesimpulan yang dapat diambil dari keempat hal di atas, batik Indonesia mengalami peningkatan produksi di pasar dalam negeri dan mengalami penurunan daya saing di pasar dunia karena beberapa faktor tertentu, namun batik Indonesia masih memilki keunggulan komparatif dan pangsa pasarnya masih menyebar dan tidak terkonsentrasi ke satu negara tertentu. Masa depan ekspor batik Indonesia masih sangat cerah dan peluang masih terbuka Iebar, hanya bagaimana cara peme-rintah dan industri batik Indonesia dalam mengatasi masalah-masalah yang dihadapi komoditas batik nasional.